Sabtu, 04 April 2009

ketentuan konversi (agraria di indonesia)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak tanggal 24 September 1960, yaitu tanggal terhitung mulai berlakunya UUPA no. 5/1960, hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum perdata Eropa yang dimuat dalam buku kedua KUHS tentang benda dinyatakan tidak berlaku lagi kecuali peraturan-peraturan tentang hipotek yang masih tetap berlaku. Hak-hak yang diatur dalam buku kedua itu diantaranya adalah hak eigendom (hak milik menurut pengertian hukum Eropa), hak erfpacht, hak opstal, dan hak vruchtgebruik, dialihkan dan dirubah masing-masing ke dalam salah satu hak atas tanah yang tercantum dalam pasal 16 UUPA no. 5/1960, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya.
Selain hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum perdata Eropa, juga hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat seperti diantaranya: hak gogoloan, hak pekulen, dan hak sanggan dialihkan ke dalam salah satu hak atas tanah dalam pasal 16 UUPA no. 5/1960. Jadi, masalah konversi itu timbul karena adanya penggantian hukum agraria

1.2. Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini dapat dipahami dengan baik dan mencapai sasaran yang dituju, maka penulis membuat beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apakah pengertian dan jenis konversi?
2. Bagaimanakah riwayat singkat dari konversi?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian dan Jenis Konversi
Konversi berarti peralihan, perubahan (omzetting) dari suatu hak kepada suatu hak lain.
Pengertian ini lain dengan pengertian hak konversi. Hak konversi menurut Vorstenlandsche Grondhuurreglement diartikan sebagai suatu hak berdasarkan atas suatu conversiebeschikking, yaitu suatu hak dari seorang landbouwoundernemer atas nikmat dari tanah, buruh, dan air yang diperlukan untuk ondernemingnya. Jadi pengertian konversi dengan hak konversi itu lain.
Apabila kita membaca bahwa arti konversi itu adalah perubahan suatu hak tertentu kepada suatu hak lain, jadi ada peralihan atau perubahan dari hak-hak atas tanah tertentu kepada hak-hak atas tanah yang lain. Konversi bisa juga diartikan sebagai perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Perlu dijelaskan bahwa “hak lama” disini adalah hak-hak atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, sedangkan hak baru memuat Undang-Undang Pokok Agraria adalah hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA khususnya pasal 16 ayat 1, c.q hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
Konversi ini sendiri terjadi karena berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi UUPA, kecuali mengenai Hak Konsensi dan Hak Sewa untuk perusahaan kebun besar yang menjadi Hak Guna Usaha.
Sedangkan konversi ini terdiri dari 3 jenis:
1. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak Barat
2. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas hak Indonesia
3. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja

Berbicara dalam hal konversi, maka yang perlu diketahui adalah:
1. Pengetahuan mengenai hak atas tanah mengenai hak lama, baik hak atas tanah, dengan hak barat ataupun hak tanah adat, maupun tanah swapraja.
2. Pengetahuan peraturan tanah yang lama.
3. Macam-macam hak atas tanah menurut hukum yang baru sebagai dimaksud dalam UUPA, termasuk siapa-siapa saja yang boleh mempunyai hak-hak tersebut, karena ketentuan konversi sangat erat dengan ketentuan subjek hak.
4. Tidak semua hak dapat dikonversi UUPA, misalnya: hak erfpacht untuk pertanian kecil dan hak milik adat.

2.2. Riwayat Singkat Konversi
Dengan diundangkannya UUPA, sebagai dimuat dalam UU no. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, maka sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 itulah berlaku hak-hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam pasal 16, khususnya hak-hak atas tanah primair, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
Pelaksanaan dari konversi tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Agraria (PMA) no. 2 tahun 1960 tanggal 10 Oktober 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA bersambung PMA no. 5 tahun 1960 tanggal 24 Desember 1960, tentang penambahan PMA no. 2 tahun 1960.
Sedangkan hak-hak atas tanah asal konversi hak barat akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980. Maka untuk penyelesaian hak tanah dimaksud diatur kembali dengan Kepres no. 32 tahun 1979 tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah. Asal konversi hak-hak barat dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 3 tahun 1979 tanggal 27 Agustus 1979 tentang ketentuan mengenai permohonan dan pemberian hak barat atas tanah asal konversi hak-hak barat.
Khusus terhadap tanah-tanah bekas hak Indonesia, yaitu tanah yang tunduk dengan hukum adat yang sifatnya turun temurun seperti Inlandsch Bezit, Yasan, Andarbeni, Pesini, Grant Sultan dan sebagainya yang pemiliknya pada saat berlakunya UUPA adalah WNI, dikonversi menjadi hak milik.

2.3. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak Barat
Jenis hak atas tanah berasal bekas hak barat:
1. Hak Eigendom
a. Pengertian hak eigendom
Hak eigendom adalah hak untuk membuat suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain.
b. Konversi hak eigendom
Mengenai konversinya, hak eigendom dapat diatur sebagai berikut:
1) Hak milik
“Apabila hak eigendom atas tanah yang ada sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria menjadi hak milik setelah memenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam pasal 21”
2) Hak guna bangunan
“Apabila hak eigendom itu kepunyaan orang asing, seorang warga NEGARA yang disamping kewarganegaraannya asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 2, sejak berlakunya Undang-undang ini menjadi Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 dengan jangka waktu 20 tahun”
3) Hak Pakai
“Apabila hak eigendom itu kepunyaan negeri asing yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman, Kepala perwakilan dan Gedung Kedutaan sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1 yang akan berlangsung selama tanahnya yang dipergunakan untuk keperluan di atas”
4) Tidak dikonversi/ dihapus
“Apabila hak eigendom tersebut dalam ayat 3 pasal 1 ini, dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria”
2. Hak Opstal
a. Pengertian hak opstal
Hak opstal adalah suatu hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain.
b. Konversi hak opstal
Pasal 1 Indonesia ketentuan konversi UUPA menentukan “Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan yang ada pada pada mulai berlakunya UUPA, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun”
Dengan demikian maka hak opstal itu dikonversi munjadi hak guna bangunan menurut pasal 35 ayat 1 UUPA dalam jangka waktu sisa waktu dari hak opstal sejak tanggal 24 September tersebut, dengan ketentuan maksimum 20 tahun hak opstal yang sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1960 tidak dikonversi.
Jadi dengan demikian, maka bekas yang punya hak opstal dapat mengajukan permohonan hak baru.
3. Hak Erfpacht
a. Pengertian hak erfpacht
Hak erfpacht adalah hak untuk memetik kenikmatan seluas-luasnya dari tanah milik orang lain, mengusahakan untuk waktu yang sangat lama.

b. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
1) Konversi hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
2) Pelaksanaan konversi bekas hak barat c.2 hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
c. Hak erfpacht yang sudah habis waktunya
Pasal 15 ayat 2 PMA No. 2 /1960, menentukan: “Hak erfpacht termaksud dalam ayat 1 pasal ini yang sudah habis waktunya dikonversi menjadi hak pakai yang berlaku sementara sampai ada keputusan yang pasti”
d. Hak erfpacht untuk pertanian kecil
1) Konversi hak erfpacht untuk pertanian kecil
2) Pelaksanaan konversi hak erfpacht untuk pertanian kecil
e. Hak erfpacht untuk perumahan
1) Konversi Hak erfpacht untuk perumahan pasal V UUPA menentukan:
“Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan yang ada pada mulai berlakunya UU ini sejak saat itu menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun”
2) Pelaksanaan konversi hak erfpacht untuk perumahan
4. Hak Gebruik
a. Pengertian hak gebruik
Hak gebruik adalah suatu hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang tertentu untuk mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya sekedar buat keperluannya sendiri beserta keluarganya.
b. Konversi hak gebruik (Pasal VI UUPA)
Hak-hak gebruik sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 sesuai dengan pasal VI ketentuan konversi UUPA dikonversi menjadi hak pakai, sebagaimana dimaksud pasal 41 ayat 1 UUPA.
5. Bruikleen
a. Pengertian bruikleen
Bruikleen adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan benda dengan cuma-cuma ke pihak lain untuk dipakainya dengan kewajiban bagi yang meminjam setelah benda itu terpakai untuk mengembalikan dalam waktu tertentu.
b. Konversi bruikleen
Konversi VI ketentuan konversi UUPA menentukan:
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah yang ada pada mulai berlakunya UU ini, yaitu hak Vruchtgebruik, genggam bauntuik, anggaduh, bengkak, lungguh, pituwas dan hak-hak lain dengan nama apapun juga”.

2.4. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak-Hak Indonesia
Jenis hak-hak atas tanah berasal dari tanah bekas hak-hak Indonesia:
1. Hak Erfpacht yang altijddurend (Altyddurende Eefpacht)
a. Pengertian hak Erfpacht yang altijddurend
Yang dimaksud dengan hak erfacht yang altijddrurend adalah hak erfacht yang diberikan sebagai pengganti hak usaha di atas bekas tanah partikulir menurut S.1913 – 702. (pasal 14 PMA No. 2/1960)
b. Konversi hak Erfpacht yang altijddurend
Untuk diketahui bahwa sebenarnya hak erfpacht yang altijddurend adalah merupakan hak Indonesia.
Tanahnya bisa berupa tanah bangunan, tapi juga bisa berupa tanah pertanian.
Altyddurende Eefpacht ini seperti hak-hak Indonesia lainnya yang sejenis hak milik adat diatur dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA, dan dikonversi sebagai berikut:

1) Hak milik (Pasal II ayat 1 UUPA)
2) Hak guna usaha (Pasal II ayat 2 UUPA)
3) Hak guna bangunan
2. Hak Agrarische Kegindom
a. Pengertian hak Agrarische Kegindom
Adalah suatu hak buatan semasa Pemerintah Hindia Belanda dengan maksud memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi suatu hak baru yang kuat atas sebidang tanah.
b. Konversi hak Agrarische Kegindom
Seperti halnya hak erfpacht yang alsijdurend maka hak agrarische kigendom merupakan hak Indonesia yang tanahnya bisa berupa tanah bangunan tetapi juga berupa tanah pertanian.
Hak Agrarische Kegindom ini seperti hak-hak Indonesia lainnya, yang sejenis hak milik, diatur dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA dapat dikonversi sebagai berikut:
1) Hak milik (pasal II ayat I UUPA)
2) Hak Guna Usaha (Pasal II ayat 2 UUPA)
3) Hak Guna bangunan
3. Hak Gogolan
a. Pengertian hak gogolan
Hak gogolan adalah hak seorang gogol atas apa yang dalam perundang-undangan agraria dealam zaman Hindia Belanda dahulu, disebut komunal desa.
Hak golongan ini sering disebut Hak Sanggao atau hak pekulen.
b. Jenis hak gogolan
Ada 2 jenis hak gogolan, yaitu:
1) Hak gogolan yang bersifat tetap
Hak gogolan bersifat tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut terus menerus memunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si gogol itu meninggal dunia, dapat diwariskan tertentu.

2) Hak gogolan yang bersifat tidak tetap
Hak gogolan yang bersifat tidak tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut tidak terus menerus memegang tanah gogolan yang sama atau apabila si gogol itu meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali pada desa.

2.5. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak Swapraja
a. Pengertian hak atas tanah bekas hak Swapraja
Yang dimaksud dengan daerah-daerah Swapraja yang semasa zaman Hindia Belanda dahulu adalah daerah raja-raja atau zelfbestuurende Landschappen.
Istilah swapraja dipakai dalam:
• UUD 1945, pasal 18
• UUDS 1950, pasal 132
• UU no. 22 tahun 1948, disebut daerah istimewa
b. Jenis-jenis hak tanah berasal dari tanah bekas hak Swapraja
1. Hak Hanggaduh
a. Pengertian hak hanggaduh
Yang dimaksud dengan hak hanggaduh ialah hak untuk memakai tanah kepunyaan raja. Menurut pernyataan ini, maka semua tanah Yogyakarta adalah kepunyaan raja, sedang rakyat hanya menggaduh saja.
b. Konversi hak hanggaduh
Dijelaskan dalam pasal VI ketentuan konversi UUPA
2. Hak Grant
a. Pengertian hak grant
Hak grant adalah hak atas tanah atas pemberian raja-raja kepada bangsa asing
b. Jenis-jenis hak grant:


1) Grant sultan
Hak Grant sultan adalah merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang diberikan oleh sultan kepada para kaula swapraja. Hak grant sultan ini didaftar di kantor pejabat pamong praja.
2) Grant controleur
Hak grant controleur ini diberikan oleh sultan kepada para bukan kaula swapraja. Hak dimaksud disebut controleur, karena pendaftarannya dilakukan di kantor controleur. Hak ini banyak diubah menjadi hak opstal dan hak erfpacht.
3) Grant Deli maatschappy
Hak grant deli maatschappy ini diberikan sultan kepada Deli maatschappy. Kepada Deli maatschappy diberi wewenang untuk memberikan bagian bagian-bagian tanah grant kepada pihak ketiga/lain.
3. Hak konsensi dan sewa untuk Perusahaan Kebun Besar
a. Pengertian hak konsensi dan sewa untuk perusahaan kebun besar
Hak konsensi untuk perusahaan kebun besar adalah hak untuk mengusahakan tanah swapraja yang diberikan oleh kepala swapraja yang bentuknya sebagai yang ditetapkan dalam misal: Byblad 3381, 4350, 4770, 5707. Hak konsensi ini tidak dapat dihipotekkan.
Hak sewa untuk perusahaan kebun besar adalah hak sewa atas tanah negara, termasuk tanah bekas swapraja untuk dipergunakan perkebunan yang luasnya 25 Ha, atau lebih, sesuatu dengan batas yang ditentukan dalam pasal 28 ayat 2 UUPA.
b. Konversi hak konsensi dan sewa untuk perusahaan kebun besar
Pasal IV ketentuan-ketentuan konversi UUPA menentukan:
Ayat 1:
Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu setahun sejak mulai berlakunya undang-undang ini, harus mengajukan permintaan menteri agraria, agar haknya diubah menjadi hak guna usaha.

BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan makalah di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya:
1. Konversi berarti peralihan, perubahan (omzetting) dari suatu hak kepada suatu hak lain. Konversi bisa juga diartikan sebagai perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
2. Konversi terdiri dari beberapa jenis diantaranya:
a. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak Barat
b. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas hak Indonesia
c. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja

DAFTAR PUSTAKA

Chomzah, Ali Achmad. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia, jilid I. Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Mustafa, Bachsan. 1988. Hukum Agraria dalam Perspektif. Bandung: Penerbit Remadja Karya CV
Perangin, Effendi. 1994. 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Soimin, Soedharyo. 1994. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika

Macam dan Jenis Hukuman Pidana di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Di dalam negara hukum seperti Indonesia, tindakan-tindakan kejahatan masih sering dilakukan. Baik itu berupa penipuan, pembunuhan, koropsi, dan lain-lain. Seringkali orang yang melakukan tindakan kejahatan ini dapat lolos dari jeratan hukum, namun tidak sedikit pula yang tertangkap dan akhirnya menjalani hukuman yang ditetapkan oleh pengadilan.
Sebagai warga negara yang ikut berpatisipasi dalam memajukan hukum di Indonesia, kita sebagai mahasiswa dituntut juga berupaya untuk tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang merugikan bangsa, khususnya diri mahasiswa itu sendiri. Maka dari itu, kita harus mempunyai sikap yang tegas dan enggan untuk melalakukan tindakan melanggar hukum. Karena mahasiswa itu nantinya akan menjadi pemimpin bangsa yang melanjutkan estafet kepemimpinan penguasa sekarang. Jika dari sekarang mahasiswa itu rusak, mau jadi apa bangsa kita nantinya.
Disamping adanya tindakan-tindakan kejahatan/melanggar hukum, sudah pasti akan ada hukuman yang menanti. Maka dari itu dalam makalah ini penulis akan mencoba mengulas sedikit banyak tentang macam-macam hukuman akibat dari tindakan pidana yang dilakukan. Semoga menambah wawasan kita semua. Amin.

1.2. Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini dapat dipahami dengan baik dan mencapai sasaran yang dituju, maka penulis membuat beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan hukuman?
2. Apa sajakah macam-macam/jenis-jenis hukuman itu?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukuman
Yang dimaksud hukuman atau pidana ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”. Hukuman yang biasa dijatuhkan oleh guru kepada murid atau hukuman disiplinair yang diberikan oleh pejabat polisi kepada bawahannya tidak termasuk dalam pengertian ini.
Definisi lainya dikatakan oleh Samih As Sayyid Jad, seorang Professor hukum pidana Universitas Al Azhar Cairo, beliau mengatakan bahwa hukuman adalah balasan yang telah ditentukan oleh pembuat undang-undang dan telah diputuskan oleh hakim bagi orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana.
Menurut filsafat, tujuan hukuman itu bermacam-macam tergantung dari sudut mana persoalan tersebut ditinjau:
a. Emmanuel Kant mengatakan bahwa hukuman adalah suatu pembalasan berdasarkan atas pepatah kuno “siapa membunuh harus dibunuh”. Pendapat ini biasa disebut “teori pembalasan” (vergelding-theorie).
b. Feurbach antara lain berpendapat bahwa hukuman harus dapat menakuti orang supaya jangan berbuat jahat. Teori ini biasa disebut “teori mempertakutkan” (afchrikkings-theorie).
c. Penulis lain berpendapat bahwa hukuman itu dimaksudkan pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. Teori ini biasa disebut “teori memperbaiki” (verbetering-stheorie).
d. Selain itu ada penulis-penulis yang mengatakan bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud-maksud lainnya (mencegah, menakut-nakuti, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki orang yang telah berbuat) tidak boleh diabaikan. Mereka adalah penganut teori yang disebut “teori gabungan” (verenigings-theorie).
Secara sederhana maka tujuan hukum pidana adalah:
1. Untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie).
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

2.2. Macam-macam Hukuman
Sebagaimana telah diketahui, bahwa hukum pidana itu adalah sanksi. Dengan sanksi, dimaksudkan untuk menguatkan apa yang telah dilarang atau yang diperintahkan oleh ketentuan hukum. Terhadap orang yang memperkosa ketentuan hukum, diambil tindakan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan yang bersangkutan.
Jenis pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Pidana ini juga berlaku bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang. Jenis pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan. Jenis-jenis hukuman/pidana tersebut adalah:
a. Hukuman-hukuman pokok:
a. Hukuman mati.
b. Hukuman penjara.
c. Hukuman kurungan.
d. Hukuman denda.
e. Hukuman tutupan. Hukuman ini ditambahkan ke dalam KUHP dengan undang-undang (Republik Yogya) tahun 1946 no. 20.
b. Hukuman-hukuman tambahan:
a. Pencabutan beberapa hak-hak tertentu.
b. Perampasan barang-barang tertentu.
c. Pengumuman keputusan hakim.

2.3. Hukuman-hukuman pokok
1. Hukuman mati.
Hukuman ini adalah puncaknya dari segala hukuman. Hukuman terutama di dalam abad-abad terakhir telah banyak dipersoalkan di antara golongan yang setuju dan yang tidak setuju terhadap hukuman ini. Salah satu yang dirasakan orang terhadap hukuman mati ini ialah sifatnya yang mutlak, sifatnya yang tidak memungkinkan mengadakan perbaikan atau perubahan. Apabila hukuman itu telah dijalankan, hakim sebagai manusia yang tidak luput dari kekeliruan dan meskipun di dalam suatu perkara nampaknya pemeriksaan dan bukti-bukti menunjuk kepada kesalahan terdakwa, akan tetapi karena kebenaran itu hanya pada Tuhan, tidaklah mustahil hakim itu, walaupun dengan segala kejujuran, keliru di dalam pandangan dan pendapatnya.
Banyak negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk diterapkan di KUHP-nya seperti: Belanda, Jerman, Italia, Portugal, dan lain-lain. Sedangkan negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Pakistan, dan lain-lain masih mencatumkan pidana mati di KUHP-nya.
Kalau di negara lain satu persatu menghapus pidana mati, maka sebaliknya di Indonesia semalin banyak delik yang diancam dengan pidana mati. Delik yang diancam pidana mati di Indonesia sudah menjadi 9 buah yaitu:
1. Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden)
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing berperang)
3. Pasal 124 ayat (3) KUHP(menyerahkan kekuasaan, menganjurkan huru-hara
4. Pasal 124 bis KUHP
5. Pasal 140 ayat (3)KUHP (makar pada negara sahabat)
6. Pasal 340 KUHP(pembunuhan berencana)
7. Pasal 365 ayat (4)KUHP(curat curas dengan kematian)
8. Pasal 444 KUHP(pembajakan laut,dengan akibat kematian)
9. Pasal 479 K ayat (2) dan pasal 479 O ayat (2) KUHP(kekerasan dalam pesawat dengan akibat kematian)
Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara signifikan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati.
Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
Untuk meringankan penderitaan fisik bagi terpidana mati, maka beberapa usaha telah dilakukan dalam eksekusi seperti: guillotine (Prancis, 1792), kursi listrik (Prancis, 1888), kamar gas (1924), dan dengan suntikan.
Pelaksanaan hukuman mati diatur dalam PP No 2 tahun 1964, yaitu:
• Ditembak mati (pasal 1)
• Ditempat penjatuhan hukuman pengadilan tingkat pertama(pasal 2)
• Regu tembak(1 perwira,1 bintara, dan 12 tamtama (pasal 10/1.2)
• Berdiri, duduk, berlutut.(pasal 12)
• Sasaran tembak jantung (pasal 14)
2. Hukuman penjara.
Hukuman penjara adalah untuk sepanjang hidup atau sementara waktu (pasal 12 KUHP). Lamanya hukuman penjara untuk sementara waktu berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya dan 15 tahun berturut-turut paling lama. Akan tetapi dalam beberapa hal lamanya hukuman penjara sementara itu dapat ditetapkan sampai 20 tahun berturut-turut. Yaitu jikalau untuk suatu kejahatan disediakan hukuman yang dapat dipilih oleh hakim diantaranya:
a. Hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, dan penjara untuk sementara waktu.
b. Hukuman penjara seumur hidup, dan hukuman penjara untuk sementara waktu.
c. Terjadi gabungan peristiwa pidana.
d. Terjadi peristiwa pengulangan peristiwa pidana.
e. Terjadi perbuatan kejahatan seperti dimaksud dalam pasal 52, jumlah hukuman menjadi lebih dari 15 tahun.
Akan tetapi, bagaimanapun juga hukuman penjara sementara waktu tidak boleh melebihi 20 tahun. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (4) KUHP.
Pidana penjara disebut juga pidana hilang kemerdekaan. Tidak hanya itu, tapi narapidana juga kehilangan hak-hak tertentu, diantaranya:
1. Hak untuk memilih dan dipilih.
2. Hak untuk memangku jabatan politik.
3. Hak untuk bekerja di perusahaan.
4. Hak untuk mendapatkan perizinan tertentu.
5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6. Hak untuk kawin, dan lain-lain.
3. Hukuman kurungan.
Hukuman kurungan seperti halnya dengann hukuman penjara, maka dengan hukuman kurungan pun, terpidana selama menjalani hukumannya, kehilangan kemerdekaannya. Menurut pasal 18 KUHP, lamanya hukuman kurungan berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya dan 1 tahun paling lama. Hukuman kurungan ini mempunyai banyak kesamaan dengan hukuman penjara. Di dalam beberapa hal,(samenloop, residive, dan pemberatan karena jabatan) hukuman kurungan itu dapat dikenakan lebih lama, yaitu 1 tahun 4 bulan (pasal 18 ayat (2) KUHP). Hukuman kurungan dianggap lebih ringan dari hukuman penjara dan hanya diancamkan bagi peristiwa yang ringan sifatnya seperti di dalam kejahatan yang tidak disengaja dan di dalam hal pelanggaran.
Persamaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:
1. Hukuman penjara dan hukuman kurungan merupakan hukuman penahanan yang termasuk dalam hukuman pokok, sehingga dalam penjatuhannya masih dapat disertai oleh hukuman-hukuman tambahan pula.
2. Sama-sama berinti pada penghilangan kebebasan seseorang selama hukumannya.
3. Batas minimum hukuman penjara sama dengan batas minimum hukuman kurungan, yaitu 1 (satu) hari.
Perbedaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan sebagai berikut:
Hukuman penjara Hukuman kurungan
1. Orang yang dikenakan huku- 1. Tidak dapat dikirimkan, bertentang-
man dapat dikirimkan kemana-mana an dengan kehendaknya keluar daerah tem-
untuk menjalani hukumannya. dijatuhi hukuman.
2. Dipekerjakan berat. 2. Menurut pasal 19 ayat (2) KUHP ti-
dak seberat hukuman penjara.
3. Tidak diperkenankan atas bia- 3. Diperkenankan(pasal 23)
ya sendiri mengadakan persediaan- 4. Pelanggaran (buku 111)
persediaan yang meringankan nasib-
nya
4. Kejahatan (buku 11)

4. Hukuman denda.
Beberapa pelanggaran hukuman dianggap kurang cukup dengan ancaman hukuman denda. Walaupun sifatnya hukuman ini ditujukan pada orang yang bersalah, akan tetapi berlainan dengan hukuman-hukuman lainnya, yang tidak dapat dijalankan dan diderita orang yang dikenai hukuman. Maka di dalam hal hukuman denda tidak dapat dihilangkan kemungkinan, bahwa hukuman itu dibayar oleh pihak ketiga.
Berbeda dengan hukuman-hukuman lain, maka di dalam hukuman denda, hukuman itu dapat dirubah menjadi kurungan sebagai pengganti. Yang dikenakan hukuman dapat memilih, membayar denda atau kurungan sebagai gantinya.
Dalam undang-undang tidak ditentukan maksimum umum besarnya denda yang harus dibayar. Yang ada ialah minimum umum yang semula 25 sen, kemudian diubah dengan undang-undang no.18 (perpu) tahun 1960 (LN 1960 no. 52) menjadi lima belas(15) kali lipat.
Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi kasus dengan putusan hakim, minimum umum 1 hari dan maksimum 6 bulan (pasal 30 ayat (3) KUHP). Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 bulan dalam hal gabungan (concursus) resedive, dan delik jabatan menurut pasal 52 dan 52 bis (pasal 30 ayat (5) KUHP).
Kurungan itu dapat saja dihentikan segera, setelah si terhukum membayar dendanya. Jangka waktu untuk membayar denda ditentukan oleh jaksa yang mengeksekusinya, dimulai dengan waktu 2 bulan dan diperpanjang menjadi 1 tahun.
5. Hukuman tutupan.
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda. Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20 tentang pidana tutupan.
Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.
Di dalam pasal 2 undang-undang 1946 no. 20 itu ditetapkan bahwa di dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Dari pasal 1 undang-undang tersebut, ternyata hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk menggantikan hukuman penjara.
2.4. Hukuman-hukuman tambahan
Melihat namanya saja, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal tertentu, dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.




1. Pencabutan hak-hak tertentu.
Pencabutan segala hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga sdisebut “burgerlijke dood”, tidak diperkenankan oleh undang-undang sementara (pasal 15 ayat 2).
Hak-hak yang dapat dicabut oleh keputusan, dimuat dalam pasal 35 KUHP, yaitu:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
2. Hak memasuki angkatan bersenjata.
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4. Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
6. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.
Untuk berapa lamanya hakim dapat menetapkan berlakunya pencabutan hak-hak tersebut, hal ini dijelaskan dalam pasal 38 KUHP, yaitu:
1. Dalam hal pidana atau mati, lamanya pencabutan seumur hidup.
2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3. Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan palin banyak 5 tahun.
2. Perampasan barang-barang tertentu.
Perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana benda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang yang dapat dirampas, yaitu:
1. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan.
2. Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
Jika barang itu tidak diserahkan atau harganya tidak dibayar, maka harus diganti dengan kurungan. Lamanya kurungan ini 1 hari paling sedikit dan 6 bulan paling lama. Jika barang itu dipunyai bersama, dalam keadaan ini, perampasan tidak dapat dilakukan karena sebagian barang kepunyaan orang lain akan terampas pula.
3. Pengumuman putusan hakim.
Di dalam pasal 43 KUHP, ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan yang lain. Maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana.
Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Terhadap orang-orang yang melakukan peristiwa pidana sebelum berusia 16 tahun, hukuman pengumuman tidak boleh dikenakan.


BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan makalah di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Hukuman atau pidana ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”.
2. Jenis pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP, yaitu:
a. Hukuman-hukuman pokok:
1. Hukuman mati.
2. Hukuman penjara.
3. Hukuman kurungan.
4. Hukuman denda.
5. Hukuman tutupan. Hukuman ini ditambahkan ke dalam KUHP dengan undang-undang (Republik Yogya) tahun 1946 no. 20.
b. Hukuman-hukuman tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak-hak tertentu.
2. Perampasan barang-barang tertentu.
3. Pengumuman keputusan hakim.












DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit Angkasa
Cyber Space, Legalitas Eksekusi Pidana Mati Ditinjau dari Perspektif Hukum Positif Indonesia. Htm
Forum Studi Syariah wal Qanun, Hukuman 'Uqubah dalam Hukum Pidana. html
Hamzah, Andi. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu. 1985. Pidana Mati di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
HMI Komisariat Fakultas Hukum UNS. Problemetika Pidana Mati Di Indonesia. htm
Marpaung, Laden. 1999. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Jakarta: Sinar Grafika
Moeljatno. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP. Jakarta: Bumi Aksara
Reformata, Bentuk-bentuk Hukuman. html
Soesilo, R. 1993. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia
Tresna, R. 1994. Azas-azas Hukum Pidana. Yogyakarta: Unpad