Sabtu, 04 April 2009

ketentuan konversi (agraria di indonesia)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak tanggal 24 September 1960, yaitu tanggal terhitung mulai berlakunya UUPA no. 5/1960, hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum perdata Eropa yang dimuat dalam buku kedua KUHS tentang benda dinyatakan tidak berlaku lagi kecuali peraturan-peraturan tentang hipotek yang masih tetap berlaku. Hak-hak yang diatur dalam buku kedua itu diantaranya adalah hak eigendom (hak milik menurut pengertian hukum Eropa), hak erfpacht, hak opstal, dan hak vruchtgebruik, dialihkan dan dirubah masing-masing ke dalam salah satu hak atas tanah yang tercantum dalam pasal 16 UUPA no. 5/1960, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya.
Selain hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum perdata Eropa, juga hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat seperti diantaranya: hak gogoloan, hak pekulen, dan hak sanggan dialihkan ke dalam salah satu hak atas tanah dalam pasal 16 UUPA no. 5/1960. Jadi, masalah konversi itu timbul karena adanya penggantian hukum agraria

1.2. Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini dapat dipahami dengan baik dan mencapai sasaran yang dituju, maka penulis membuat beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apakah pengertian dan jenis konversi?
2. Bagaimanakah riwayat singkat dari konversi?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian dan Jenis Konversi
Konversi berarti peralihan, perubahan (omzetting) dari suatu hak kepada suatu hak lain.
Pengertian ini lain dengan pengertian hak konversi. Hak konversi menurut Vorstenlandsche Grondhuurreglement diartikan sebagai suatu hak berdasarkan atas suatu conversiebeschikking, yaitu suatu hak dari seorang landbouwoundernemer atas nikmat dari tanah, buruh, dan air yang diperlukan untuk ondernemingnya. Jadi pengertian konversi dengan hak konversi itu lain.
Apabila kita membaca bahwa arti konversi itu adalah perubahan suatu hak tertentu kepada suatu hak lain, jadi ada peralihan atau perubahan dari hak-hak atas tanah tertentu kepada hak-hak atas tanah yang lain. Konversi bisa juga diartikan sebagai perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Perlu dijelaskan bahwa “hak lama” disini adalah hak-hak atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, sedangkan hak baru memuat Undang-Undang Pokok Agraria adalah hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA khususnya pasal 16 ayat 1, c.q hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
Konversi ini sendiri terjadi karena berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi UUPA, kecuali mengenai Hak Konsensi dan Hak Sewa untuk perusahaan kebun besar yang menjadi Hak Guna Usaha.
Sedangkan konversi ini terdiri dari 3 jenis:
1. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak Barat
2. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas hak Indonesia
3. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja

Berbicara dalam hal konversi, maka yang perlu diketahui adalah:
1. Pengetahuan mengenai hak atas tanah mengenai hak lama, baik hak atas tanah, dengan hak barat ataupun hak tanah adat, maupun tanah swapraja.
2. Pengetahuan peraturan tanah yang lama.
3. Macam-macam hak atas tanah menurut hukum yang baru sebagai dimaksud dalam UUPA, termasuk siapa-siapa saja yang boleh mempunyai hak-hak tersebut, karena ketentuan konversi sangat erat dengan ketentuan subjek hak.
4. Tidak semua hak dapat dikonversi UUPA, misalnya: hak erfpacht untuk pertanian kecil dan hak milik adat.

2.2. Riwayat Singkat Konversi
Dengan diundangkannya UUPA, sebagai dimuat dalam UU no. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, maka sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 itulah berlaku hak-hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam pasal 16, khususnya hak-hak atas tanah primair, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
Pelaksanaan dari konversi tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Agraria (PMA) no. 2 tahun 1960 tanggal 10 Oktober 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA bersambung PMA no. 5 tahun 1960 tanggal 24 Desember 1960, tentang penambahan PMA no. 2 tahun 1960.
Sedangkan hak-hak atas tanah asal konversi hak barat akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980. Maka untuk penyelesaian hak tanah dimaksud diatur kembali dengan Kepres no. 32 tahun 1979 tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah. Asal konversi hak-hak barat dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 3 tahun 1979 tanggal 27 Agustus 1979 tentang ketentuan mengenai permohonan dan pemberian hak barat atas tanah asal konversi hak-hak barat.
Khusus terhadap tanah-tanah bekas hak Indonesia, yaitu tanah yang tunduk dengan hukum adat yang sifatnya turun temurun seperti Inlandsch Bezit, Yasan, Andarbeni, Pesini, Grant Sultan dan sebagainya yang pemiliknya pada saat berlakunya UUPA adalah WNI, dikonversi menjadi hak milik.

2.3. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak Barat
Jenis hak atas tanah berasal bekas hak barat:
1. Hak Eigendom
a. Pengertian hak eigendom
Hak eigendom adalah hak untuk membuat suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain.
b. Konversi hak eigendom
Mengenai konversinya, hak eigendom dapat diatur sebagai berikut:
1) Hak milik
“Apabila hak eigendom atas tanah yang ada sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria menjadi hak milik setelah memenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam pasal 21”
2) Hak guna bangunan
“Apabila hak eigendom itu kepunyaan orang asing, seorang warga NEGARA yang disamping kewarganegaraannya asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 2, sejak berlakunya Undang-undang ini menjadi Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 dengan jangka waktu 20 tahun”
3) Hak Pakai
“Apabila hak eigendom itu kepunyaan negeri asing yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman, Kepala perwakilan dan Gedung Kedutaan sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1 yang akan berlangsung selama tanahnya yang dipergunakan untuk keperluan di atas”
4) Tidak dikonversi/ dihapus
“Apabila hak eigendom tersebut dalam ayat 3 pasal 1 ini, dibebani dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria”
2. Hak Opstal
a. Pengertian hak opstal
Hak opstal adalah suatu hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain.
b. Konversi hak opstal
Pasal 1 Indonesia ketentuan konversi UUPA menentukan “Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan yang ada pada pada mulai berlakunya UUPA, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun”
Dengan demikian maka hak opstal itu dikonversi munjadi hak guna bangunan menurut pasal 35 ayat 1 UUPA dalam jangka waktu sisa waktu dari hak opstal sejak tanggal 24 September tersebut, dengan ketentuan maksimum 20 tahun hak opstal yang sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1960 tidak dikonversi.
Jadi dengan demikian, maka bekas yang punya hak opstal dapat mengajukan permohonan hak baru.
3. Hak Erfpacht
a. Pengertian hak erfpacht
Hak erfpacht adalah hak untuk memetik kenikmatan seluas-luasnya dari tanah milik orang lain, mengusahakan untuk waktu yang sangat lama.

b. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
1) Konversi hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
2) Pelaksanaan konversi bekas hak barat c.2 hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
c. Hak erfpacht yang sudah habis waktunya
Pasal 15 ayat 2 PMA No. 2 /1960, menentukan: “Hak erfpacht termaksud dalam ayat 1 pasal ini yang sudah habis waktunya dikonversi menjadi hak pakai yang berlaku sementara sampai ada keputusan yang pasti”
d. Hak erfpacht untuk pertanian kecil
1) Konversi hak erfpacht untuk pertanian kecil
2) Pelaksanaan konversi hak erfpacht untuk pertanian kecil
e. Hak erfpacht untuk perumahan
1) Konversi Hak erfpacht untuk perumahan pasal V UUPA menentukan:
“Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan yang ada pada mulai berlakunya UU ini sejak saat itu menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun”
2) Pelaksanaan konversi hak erfpacht untuk perumahan
4. Hak Gebruik
a. Pengertian hak gebruik
Hak gebruik adalah suatu hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang tertentu untuk mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya sekedar buat keperluannya sendiri beserta keluarganya.
b. Konversi hak gebruik (Pasal VI UUPA)
Hak-hak gebruik sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 sesuai dengan pasal VI ketentuan konversi UUPA dikonversi menjadi hak pakai, sebagaimana dimaksud pasal 41 ayat 1 UUPA.
5. Bruikleen
a. Pengertian bruikleen
Bruikleen adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan benda dengan cuma-cuma ke pihak lain untuk dipakainya dengan kewajiban bagi yang meminjam setelah benda itu terpakai untuk mengembalikan dalam waktu tertentu.
b. Konversi bruikleen
Konversi VI ketentuan konversi UUPA menentukan:
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah yang ada pada mulai berlakunya UU ini, yaitu hak Vruchtgebruik, genggam bauntuik, anggaduh, bengkak, lungguh, pituwas dan hak-hak lain dengan nama apapun juga”.

2.4. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak-Hak Indonesia
Jenis hak-hak atas tanah berasal dari tanah bekas hak-hak Indonesia:
1. Hak Erfpacht yang altijddurend (Altyddurende Eefpacht)
a. Pengertian hak Erfpacht yang altijddurend
Yang dimaksud dengan hak erfacht yang altijddrurend adalah hak erfacht yang diberikan sebagai pengganti hak usaha di atas bekas tanah partikulir menurut S.1913 – 702. (pasal 14 PMA No. 2/1960)
b. Konversi hak Erfpacht yang altijddurend
Untuk diketahui bahwa sebenarnya hak erfpacht yang altijddurend adalah merupakan hak Indonesia.
Tanahnya bisa berupa tanah bangunan, tapi juga bisa berupa tanah pertanian.
Altyddurende Eefpacht ini seperti hak-hak Indonesia lainnya yang sejenis hak milik adat diatur dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA, dan dikonversi sebagai berikut:

1) Hak milik (Pasal II ayat 1 UUPA)
2) Hak guna usaha (Pasal II ayat 2 UUPA)
3) Hak guna bangunan
2. Hak Agrarische Kegindom
a. Pengertian hak Agrarische Kegindom
Adalah suatu hak buatan semasa Pemerintah Hindia Belanda dengan maksud memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi suatu hak baru yang kuat atas sebidang tanah.
b. Konversi hak Agrarische Kegindom
Seperti halnya hak erfpacht yang alsijdurend maka hak agrarische kigendom merupakan hak Indonesia yang tanahnya bisa berupa tanah bangunan tetapi juga berupa tanah pertanian.
Hak Agrarische Kegindom ini seperti hak-hak Indonesia lainnya, yang sejenis hak milik, diatur dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA dapat dikonversi sebagai berikut:
1) Hak milik (pasal II ayat I UUPA)
2) Hak Guna Usaha (Pasal II ayat 2 UUPA)
3) Hak Guna bangunan
3. Hak Gogolan
a. Pengertian hak gogolan
Hak gogolan adalah hak seorang gogol atas apa yang dalam perundang-undangan agraria dealam zaman Hindia Belanda dahulu, disebut komunal desa.
Hak golongan ini sering disebut Hak Sanggao atau hak pekulen.
b. Jenis hak gogolan
Ada 2 jenis hak gogolan, yaitu:
1) Hak gogolan yang bersifat tetap
Hak gogolan bersifat tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut terus menerus memunyai tanah gogolan yang sama dan apabila si gogol itu meninggal dunia, dapat diwariskan tertentu.

2) Hak gogolan yang bersifat tidak tetap
Hak gogolan yang bersifat tidak tetap adalah hak gogolan, apabila para gogol tersebut tidak terus menerus memegang tanah gogolan yang sama atau apabila si gogol itu meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali pada desa.

2.5. Konversi Hak Atas Tanah Bekas Hak Swapraja
a. Pengertian hak atas tanah bekas hak Swapraja
Yang dimaksud dengan daerah-daerah Swapraja yang semasa zaman Hindia Belanda dahulu adalah daerah raja-raja atau zelfbestuurende Landschappen.
Istilah swapraja dipakai dalam:
• UUD 1945, pasal 18
• UUDS 1950, pasal 132
• UU no. 22 tahun 1948, disebut daerah istimewa
b. Jenis-jenis hak tanah berasal dari tanah bekas hak Swapraja
1. Hak Hanggaduh
a. Pengertian hak hanggaduh
Yang dimaksud dengan hak hanggaduh ialah hak untuk memakai tanah kepunyaan raja. Menurut pernyataan ini, maka semua tanah Yogyakarta adalah kepunyaan raja, sedang rakyat hanya menggaduh saja.
b. Konversi hak hanggaduh
Dijelaskan dalam pasal VI ketentuan konversi UUPA
2. Hak Grant
a. Pengertian hak grant
Hak grant adalah hak atas tanah atas pemberian raja-raja kepada bangsa asing
b. Jenis-jenis hak grant:


1) Grant sultan
Hak Grant sultan adalah merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang diberikan oleh sultan kepada para kaula swapraja. Hak grant sultan ini didaftar di kantor pejabat pamong praja.
2) Grant controleur
Hak grant controleur ini diberikan oleh sultan kepada para bukan kaula swapraja. Hak dimaksud disebut controleur, karena pendaftarannya dilakukan di kantor controleur. Hak ini banyak diubah menjadi hak opstal dan hak erfpacht.
3) Grant Deli maatschappy
Hak grant deli maatschappy ini diberikan sultan kepada Deli maatschappy. Kepada Deli maatschappy diberi wewenang untuk memberikan bagian bagian-bagian tanah grant kepada pihak ketiga/lain.
3. Hak konsensi dan sewa untuk Perusahaan Kebun Besar
a. Pengertian hak konsensi dan sewa untuk perusahaan kebun besar
Hak konsensi untuk perusahaan kebun besar adalah hak untuk mengusahakan tanah swapraja yang diberikan oleh kepala swapraja yang bentuknya sebagai yang ditetapkan dalam misal: Byblad 3381, 4350, 4770, 5707. Hak konsensi ini tidak dapat dihipotekkan.
Hak sewa untuk perusahaan kebun besar adalah hak sewa atas tanah negara, termasuk tanah bekas swapraja untuk dipergunakan perkebunan yang luasnya 25 Ha, atau lebih, sesuatu dengan batas yang ditentukan dalam pasal 28 ayat 2 UUPA.
b. Konversi hak konsensi dan sewa untuk perusahaan kebun besar
Pasal IV ketentuan-ketentuan konversi UUPA menentukan:
Ayat 1:
Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu setahun sejak mulai berlakunya undang-undang ini, harus mengajukan permintaan menteri agraria, agar haknya diubah menjadi hak guna usaha.

BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan makalah di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya:
1. Konversi berarti peralihan, perubahan (omzetting) dari suatu hak kepada suatu hak lain. Konversi bisa juga diartikan sebagai perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
2. Konversi terdiri dari beberapa jenis diantaranya:
a. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak Barat
b. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas hak Indonesia
c. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja

DAFTAR PUSTAKA

Chomzah, Ali Achmad. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia, jilid I. Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Mustafa, Bachsan. 1988. Hukum Agraria dalam Perspektif. Bandung: Penerbit Remadja Karya CV
Perangin, Effendi. 1994. 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Soimin, Soedharyo. 1994. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika

Macam dan Jenis Hukuman Pidana di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Di dalam negara hukum seperti Indonesia, tindakan-tindakan kejahatan masih sering dilakukan. Baik itu berupa penipuan, pembunuhan, koropsi, dan lain-lain. Seringkali orang yang melakukan tindakan kejahatan ini dapat lolos dari jeratan hukum, namun tidak sedikit pula yang tertangkap dan akhirnya menjalani hukuman yang ditetapkan oleh pengadilan.
Sebagai warga negara yang ikut berpatisipasi dalam memajukan hukum di Indonesia, kita sebagai mahasiswa dituntut juga berupaya untuk tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang merugikan bangsa, khususnya diri mahasiswa itu sendiri. Maka dari itu, kita harus mempunyai sikap yang tegas dan enggan untuk melalakukan tindakan melanggar hukum. Karena mahasiswa itu nantinya akan menjadi pemimpin bangsa yang melanjutkan estafet kepemimpinan penguasa sekarang. Jika dari sekarang mahasiswa itu rusak, mau jadi apa bangsa kita nantinya.
Disamping adanya tindakan-tindakan kejahatan/melanggar hukum, sudah pasti akan ada hukuman yang menanti. Maka dari itu dalam makalah ini penulis akan mencoba mengulas sedikit banyak tentang macam-macam hukuman akibat dari tindakan pidana yang dilakukan. Semoga menambah wawasan kita semua. Amin.

1.2. Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini dapat dipahami dengan baik dan mencapai sasaran yang dituju, maka penulis membuat beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan hukuman?
2. Apa sajakah macam-macam/jenis-jenis hukuman itu?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukuman
Yang dimaksud hukuman atau pidana ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”. Hukuman yang biasa dijatuhkan oleh guru kepada murid atau hukuman disiplinair yang diberikan oleh pejabat polisi kepada bawahannya tidak termasuk dalam pengertian ini.
Definisi lainya dikatakan oleh Samih As Sayyid Jad, seorang Professor hukum pidana Universitas Al Azhar Cairo, beliau mengatakan bahwa hukuman adalah balasan yang telah ditentukan oleh pembuat undang-undang dan telah diputuskan oleh hakim bagi orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana.
Menurut filsafat, tujuan hukuman itu bermacam-macam tergantung dari sudut mana persoalan tersebut ditinjau:
a. Emmanuel Kant mengatakan bahwa hukuman adalah suatu pembalasan berdasarkan atas pepatah kuno “siapa membunuh harus dibunuh”. Pendapat ini biasa disebut “teori pembalasan” (vergelding-theorie).
b. Feurbach antara lain berpendapat bahwa hukuman harus dapat menakuti orang supaya jangan berbuat jahat. Teori ini biasa disebut “teori mempertakutkan” (afchrikkings-theorie).
c. Penulis lain berpendapat bahwa hukuman itu dimaksudkan pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. Teori ini biasa disebut “teori memperbaiki” (verbetering-stheorie).
d. Selain itu ada penulis-penulis yang mengatakan bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud-maksud lainnya (mencegah, menakut-nakuti, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki orang yang telah berbuat) tidak boleh diabaikan. Mereka adalah penganut teori yang disebut “teori gabungan” (verenigings-theorie).
Secara sederhana maka tujuan hukum pidana adalah:
1. Untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie).
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

2.2. Macam-macam Hukuman
Sebagaimana telah diketahui, bahwa hukum pidana itu adalah sanksi. Dengan sanksi, dimaksudkan untuk menguatkan apa yang telah dilarang atau yang diperintahkan oleh ketentuan hukum. Terhadap orang yang memperkosa ketentuan hukum, diambil tindakan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan yang bersangkutan.
Jenis pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Pidana ini juga berlaku bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang. Jenis pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan. Jenis-jenis hukuman/pidana tersebut adalah:
a. Hukuman-hukuman pokok:
a. Hukuman mati.
b. Hukuman penjara.
c. Hukuman kurungan.
d. Hukuman denda.
e. Hukuman tutupan. Hukuman ini ditambahkan ke dalam KUHP dengan undang-undang (Republik Yogya) tahun 1946 no. 20.
b. Hukuman-hukuman tambahan:
a. Pencabutan beberapa hak-hak tertentu.
b. Perampasan barang-barang tertentu.
c. Pengumuman keputusan hakim.

2.3. Hukuman-hukuman pokok
1. Hukuman mati.
Hukuman ini adalah puncaknya dari segala hukuman. Hukuman terutama di dalam abad-abad terakhir telah banyak dipersoalkan di antara golongan yang setuju dan yang tidak setuju terhadap hukuman ini. Salah satu yang dirasakan orang terhadap hukuman mati ini ialah sifatnya yang mutlak, sifatnya yang tidak memungkinkan mengadakan perbaikan atau perubahan. Apabila hukuman itu telah dijalankan, hakim sebagai manusia yang tidak luput dari kekeliruan dan meskipun di dalam suatu perkara nampaknya pemeriksaan dan bukti-bukti menunjuk kepada kesalahan terdakwa, akan tetapi karena kebenaran itu hanya pada Tuhan, tidaklah mustahil hakim itu, walaupun dengan segala kejujuran, keliru di dalam pandangan dan pendapatnya.
Banyak negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk diterapkan di KUHP-nya seperti: Belanda, Jerman, Italia, Portugal, dan lain-lain. Sedangkan negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Pakistan, dan lain-lain masih mencatumkan pidana mati di KUHP-nya.
Kalau di negara lain satu persatu menghapus pidana mati, maka sebaliknya di Indonesia semalin banyak delik yang diancam dengan pidana mati. Delik yang diancam pidana mati di Indonesia sudah menjadi 9 buah yaitu:
1. Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden)
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing berperang)
3. Pasal 124 ayat (3) KUHP(menyerahkan kekuasaan, menganjurkan huru-hara
4. Pasal 124 bis KUHP
5. Pasal 140 ayat (3)KUHP (makar pada negara sahabat)
6. Pasal 340 KUHP(pembunuhan berencana)
7. Pasal 365 ayat (4)KUHP(curat curas dengan kematian)
8. Pasal 444 KUHP(pembajakan laut,dengan akibat kematian)
9. Pasal 479 K ayat (2) dan pasal 479 O ayat (2) KUHP(kekerasan dalam pesawat dengan akibat kematian)
Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara signifikan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati.
Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
Untuk meringankan penderitaan fisik bagi terpidana mati, maka beberapa usaha telah dilakukan dalam eksekusi seperti: guillotine (Prancis, 1792), kursi listrik (Prancis, 1888), kamar gas (1924), dan dengan suntikan.
Pelaksanaan hukuman mati diatur dalam PP No 2 tahun 1964, yaitu:
• Ditembak mati (pasal 1)
• Ditempat penjatuhan hukuman pengadilan tingkat pertama(pasal 2)
• Regu tembak(1 perwira,1 bintara, dan 12 tamtama (pasal 10/1.2)
• Berdiri, duduk, berlutut.(pasal 12)
• Sasaran tembak jantung (pasal 14)
2. Hukuman penjara.
Hukuman penjara adalah untuk sepanjang hidup atau sementara waktu (pasal 12 KUHP). Lamanya hukuman penjara untuk sementara waktu berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya dan 15 tahun berturut-turut paling lama. Akan tetapi dalam beberapa hal lamanya hukuman penjara sementara itu dapat ditetapkan sampai 20 tahun berturut-turut. Yaitu jikalau untuk suatu kejahatan disediakan hukuman yang dapat dipilih oleh hakim diantaranya:
a. Hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, dan penjara untuk sementara waktu.
b. Hukuman penjara seumur hidup, dan hukuman penjara untuk sementara waktu.
c. Terjadi gabungan peristiwa pidana.
d. Terjadi peristiwa pengulangan peristiwa pidana.
e. Terjadi perbuatan kejahatan seperti dimaksud dalam pasal 52, jumlah hukuman menjadi lebih dari 15 tahun.
Akan tetapi, bagaimanapun juga hukuman penjara sementara waktu tidak boleh melebihi 20 tahun. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (4) KUHP.
Pidana penjara disebut juga pidana hilang kemerdekaan. Tidak hanya itu, tapi narapidana juga kehilangan hak-hak tertentu, diantaranya:
1. Hak untuk memilih dan dipilih.
2. Hak untuk memangku jabatan politik.
3. Hak untuk bekerja di perusahaan.
4. Hak untuk mendapatkan perizinan tertentu.
5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6. Hak untuk kawin, dan lain-lain.
3. Hukuman kurungan.
Hukuman kurungan seperti halnya dengann hukuman penjara, maka dengan hukuman kurungan pun, terpidana selama menjalani hukumannya, kehilangan kemerdekaannya. Menurut pasal 18 KUHP, lamanya hukuman kurungan berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya dan 1 tahun paling lama. Hukuman kurungan ini mempunyai banyak kesamaan dengan hukuman penjara. Di dalam beberapa hal,(samenloop, residive, dan pemberatan karena jabatan) hukuman kurungan itu dapat dikenakan lebih lama, yaitu 1 tahun 4 bulan (pasal 18 ayat (2) KUHP). Hukuman kurungan dianggap lebih ringan dari hukuman penjara dan hanya diancamkan bagi peristiwa yang ringan sifatnya seperti di dalam kejahatan yang tidak disengaja dan di dalam hal pelanggaran.
Persamaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:
1. Hukuman penjara dan hukuman kurungan merupakan hukuman penahanan yang termasuk dalam hukuman pokok, sehingga dalam penjatuhannya masih dapat disertai oleh hukuman-hukuman tambahan pula.
2. Sama-sama berinti pada penghilangan kebebasan seseorang selama hukumannya.
3. Batas minimum hukuman penjara sama dengan batas minimum hukuman kurungan, yaitu 1 (satu) hari.
Perbedaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan sebagai berikut:
Hukuman penjara Hukuman kurungan
1. Orang yang dikenakan huku- 1. Tidak dapat dikirimkan, bertentang-
man dapat dikirimkan kemana-mana an dengan kehendaknya keluar daerah tem-
untuk menjalani hukumannya. dijatuhi hukuman.
2. Dipekerjakan berat. 2. Menurut pasal 19 ayat (2) KUHP ti-
dak seberat hukuman penjara.
3. Tidak diperkenankan atas bia- 3. Diperkenankan(pasal 23)
ya sendiri mengadakan persediaan- 4. Pelanggaran (buku 111)
persediaan yang meringankan nasib-
nya
4. Kejahatan (buku 11)

4. Hukuman denda.
Beberapa pelanggaran hukuman dianggap kurang cukup dengan ancaman hukuman denda. Walaupun sifatnya hukuman ini ditujukan pada orang yang bersalah, akan tetapi berlainan dengan hukuman-hukuman lainnya, yang tidak dapat dijalankan dan diderita orang yang dikenai hukuman. Maka di dalam hal hukuman denda tidak dapat dihilangkan kemungkinan, bahwa hukuman itu dibayar oleh pihak ketiga.
Berbeda dengan hukuman-hukuman lain, maka di dalam hukuman denda, hukuman itu dapat dirubah menjadi kurungan sebagai pengganti. Yang dikenakan hukuman dapat memilih, membayar denda atau kurungan sebagai gantinya.
Dalam undang-undang tidak ditentukan maksimum umum besarnya denda yang harus dibayar. Yang ada ialah minimum umum yang semula 25 sen, kemudian diubah dengan undang-undang no.18 (perpu) tahun 1960 (LN 1960 no. 52) menjadi lima belas(15) kali lipat.
Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi kasus dengan putusan hakim, minimum umum 1 hari dan maksimum 6 bulan (pasal 30 ayat (3) KUHP). Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 bulan dalam hal gabungan (concursus) resedive, dan delik jabatan menurut pasal 52 dan 52 bis (pasal 30 ayat (5) KUHP).
Kurungan itu dapat saja dihentikan segera, setelah si terhukum membayar dendanya. Jangka waktu untuk membayar denda ditentukan oleh jaksa yang mengeksekusinya, dimulai dengan waktu 2 bulan dan diperpanjang menjadi 1 tahun.
5. Hukuman tutupan.
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda. Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20 tentang pidana tutupan.
Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.
Di dalam pasal 2 undang-undang 1946 no. 20 itu ditetapkan bahwa di dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Dari pasal 1 undang-undang tersebut, ternyata hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk menggantikan hukuman penjara.
2.4. Hukuman-hukuman tambahan
Melihat namanya saja, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal tertentu, dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.




1. Pencabutan hak-hak tertentu.
Pencabutan segala hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga sdisebut “burgerlijke dood”, tidak diperkenankan oleh undang-undang sementara (pasal 15 ayat 2).
Hak-hak yang dapat dicabut oleh keputusan, dimuat dalam pasal 35 KUHP, yaitu:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
2. Hak memasuki angkatan bersenjata.
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4. Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
6. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.
Untuk berapa lamanya hakim dapat menetapkan berlakunya pencabutan hak-hak tersebut, hal ini dijelaskan dalam pasal 38 KUHP, yaitu:
1. Dalam hal pidana atau mati, lamanya pencabutan seumur hidup.
2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3. Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan palin banyak 5 tahun.
2. Perampasan barang-barang tertentu.
Perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana benda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang yang dapat dirampas, yaitu:
1. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan.
2. Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
Jika barang itu tidak diserahkan atau harganya tidak dibayar, maka harus diganti dengan kurungan. Lamanya kurungan ini 1 hari paling sedikit dan 6 bulan paling lama. Jika barang itu dipunyai bersama, dalam keadaan ini, perampasan tidak dapat dilakukan karena sebagian barang kepunyaan orang lain akan terampas pula.
3. Pengumuman putusan hakim.
Di dalam pasal 43 KUHP, ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan yang lain. Maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana.
Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Terhadap orang-orang yang melakukan peristiwa pidana sebelum berusia 16 tahun, hukuman pengumuman tidak boleh dikenakan.


BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan makalah di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Hukuman atau pidana ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”.
2. Jenis pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP, yaitu:
a. Hukuman-hukuman pokok:
1. Hukuman mati.
2. Hukuman penjara.
3. Hukuman kurungan.
4. Hukuman denda.
5. Hukuman tutupan. Hukuman ini ditambahkan ke dalam KUHP dengan undang-undang (Republik Yogya) tahun 1946 no. 20.
b. Hukuman-hukuman tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak-hak tertentu.
2. Perampasan barang-barang tertentu.
3. Pengumuman keputusan hakim.












DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit Angkasa
Cyber Space, Legalitas Eksekusi Pidana Mati Ditinjau dari Perspektif Hukum Positif Indonesia. Htm
Forum Studi Syariah wal Qanun, Hukuman 'Uqubah dalam Hukum Pidana. html
Hamzah, Andi. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu. 1985. Pidana Mati di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
HMI Komisariat Fakultas Hukum UNS. Problemetika Pidana Mati Di Indonesia. htm
Marpaung, Laden. 1999. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Jakarta: Sinar Grafika
Moeljatno. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP. Jakarta: Bumi Aksara
Reformata, Bentuk-bentuk Hukuman. html
Soesilo, R. 1993. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia
Tresna, R. 1994. Azas-azas Hukum Pidana. Yogyakarta: Unpad

Rabu, 25 Maret 2009

SYARAT-SYARAT MENJADI HAKIM, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN (dalam islam)

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat tentu perlu adanya aturan-aturan yang bisa membuat masyarakat terutama hak-haknya tidak terlangkahi oleh orang lain apalagi mengambil hak mereka. Dalam menjamin akan dilaksanakannya aturan-aturan tersebut ialah tentu dengan memberikan sanksi. Akan tetapi dalam pemberian sanksi ini haruslah juga mempertimbangkan hak-hak terdakwa atau yang bersalah dalam membela dirinya sendiri yang diharapkan tentunya nanti dalam keputusan final tidak ada pihak yang merasa dirugikan, maka untuk menjamin akan tercipta suasana seperti yang diharapkan diatas perlu danya seseorang yang mempunyai hak dalam menghakimi tersebut (hakim) benar-benar kredibel dan bisa dipertanggungjawaban segala keputuannya. Maka dalam rangka itu perlu adanya syarat-syarat yang diperlukann bagi seorang hakim berikut tata cara pengangkatan dan tata cara pemecatan yang bisa dijadikan pedoman dalam menjamin kekredibelan terhadap segala keputusan hakim maupun tindak-tanduknya dalam perjalanannya sebagai hakim.

B. Rumusan Masalah
1. Apa syarat-syarat menjadi hakim?
2. Bagaimana pengangkatan seorang hakim?
3. Bagaimana pemberhentian (pemecatan) seorang hakim?


BAB II
PEMBAHASAN


A. Syarat Pengangkatan Menjadi Hakim (Qodli)
Adapun syarat-syarat seseorang itu bisa diangkat menjadi qodli terjadi perbedaan pendapat diantara fuqaha ada yang mengatakan 15 syarat, ada yang 7 dan ada yang 3. Akan tetapi, walaupun demikian hakikatnya sama. Adapun secara global ialah sebagai berikut:
1. Laki-laki.
Menurut madzhab Imam Abu Hanifah bahwa perempuan boleh diangkat menjadi qodli selain urusan had dan qishash karena ke dalam dua hal tersebut kesaksian perempuan tidak diterima. Akan tetapi Ibnu Jarir mengatakan At-thabari mengatakan boleh perempuan itu menjadi qodli tanpa terkecuali.
Imam Al-Mawardi menambahkan dalam syarat ini berarti seseorang haruslah balig. Baligh merupakan konsekuensi dari adanya konsep taklif dalam amal perbuatan, dimana tindakan hukum seseorang baru sah dan berimplikasi hukum setelah mencapai baligh. Tentang wanita dalam jabatan kehakiman, Imam Abu Hanifah berkata,” Wanita diperbolehkan memutuskan perkara-perkara yang ia dibenarkan menjadi saksi di dalamnya, dan tidak diperbolehkan memutuskan perkara-perkara yang ia tidak boleh menjadi saksi di dalamnya.”
Ada perbedaan pendapat di dalam seorang perempuan menjadi hakim diantaranya ialah madzhab Imam Hambali yang mengatakan bahwa seorang perempuan itu tidak boleh menjadi hakim.
2. Berakal (cerdas) dan mumayyiz.
Seorang hakim harus mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang penting untuk diketahui, sehingga ia mampu membedakan segala sesuatu dengan benar, cerdas, dan jauh dari sifat lupa.

3. Islam.
Karena syarat seseorang yang hendak menjadi saksi juga haruslah Islam, akan tetapi menurut Imam Hanifah ialah tidak apa-apa mengangkat hakim selain Islam jika untuk orang Islam.
4. Adil.
Yaitu benar dalam perkataan, dapat dipercaya, menjaga kehormatan diri dari segala yang dilarang, jujur dalam keadaan tidak suka atau suka, maka tidak boleh mengangkat hakim yang fasik.
5. Berpengetahuan.
Berpengetahuan disini ialah mengenai pokok-pokok hukum agama, dan cabang-cabangnya dan dapat membedakan yang hak dan yang bathil.
6. Sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan.
7. Faqih dan mujtahid.

B. Pengangkatan Qodli
Adapun pengangkatan seorang qodli oleh penguasa, hukumnya adalah wajib dan tidak dibedakan antara pemberian wewenang kepada qadli oleh pihak penguasa atau dengan jalan pelimpahan wewenang kepada pembantu-pembantu pemerintah untuk tugas-tugas khusus dibidang peradilan, dan atas dasar ini, maka sebenarnya seorang hakim menyandarkan putusan hukumnya atas pengangkatannya dari pihak penguasa.
Adapun seorang qodli walaupun non-Islam dan tidak adil selama masih bisa memutuskan hukum dengan benar tidak apa-apa. Adapun poin yang sangat penting dalam pengangkatan ini ialah seorang hakim tersebut harus diangkat oleh penguasa pemerintahan atau wakilnya.
Dalam pengangkatan hakim ini ada beberapa masalah diantaranya:
1. Pengangkatan hakim dengan madzhab yang berbeda.
Orang yang menganut madzhab Imam Syafi’i diperbolehkan mengangkat hakim dari orang yang menganut madzhab Abu Hanifah, karena hakim itu bertugas berijtihad dengan pendapatnya dalam keputusannya. Namun sebagian melarang.
Dalam hal seorang Muwalli (pengangkat hakim) menganut madzhab yang berbeda dengan yang diangkat kemudian si penguasa mensyaratkan dalam setiap keputusan hakim tersebut harus mengikuti madzhab penguasa yang mengangkat maka dalam hal persyaratan ini ada dua:
a. Ia mensyaratkan umum dalam semua hukum maka persyaratan tersebut tidak sah.
b. Persyaratan khusus pada hukum tertentu. Jika ini disyaratkan dalam hal pengangkatan hakim maka tidak sah kalau tidak maka sah.
Dalam hal otoritas seorang hakim dalam menangani permasalahan ada dua pendapat juga:
a. Seorang hakim tidak boleh menangani hal-hal yang dilarang karena hal tersebut bukan otoritasnya.
b. Boleh seorang hakim menangani hal-hal yang dilarang (bukan otoritasnya) selama hal tersebut bukan termasuk persyaratan dalam pengangkatannya.
Dalam hal pengangkatan ini ada dua cara.
a. Dengan sharih diantaranya, qalladtuka (aku mengangkatmu), wallaituka (aku menguasakan kepadamu), astakhlaftuka (aku menempatkanmu), dan astanbattuka (aku mewakilkan kepadamu).
b. Dengan kinayah diantaranya, i’tamadtu ‘alaika (aku bergantung kepadamu), awwaltu ‘alaika (aku meletakkan kepercayaan kepadamu), dll.
Disamping pengangkatan seperti diatas jabatan, hakim sah dengan empat syarat:
• Muwalli mengetahui bahwa muwalla (pihak yang diangkat) memiliki sifat yang membuatnya layak untuk diangkat.
• Muwalli mengetahui hak muwalla terhadap jabatan hakim.
• Muwalli menyebutkan secara jelas jenis pengangkatannya apakah seorang hakim atau gubernur dll.
• Daerah kerja harus disebutkan dalam pengangkatan.

2. Pengangkatan dua hakim dalam satu daerah.
Pengangkatan dalam hal diatas tidak terlepas dari tiga bentuk:
a. Daerah kedua hakim tersebut dalam menjalankan tugasnya.
b. Kedua perkaranya beda.
c. Keduanya ditugaskan menangani kasus-kasus hukum di seluruh wilayah negara. Akan tetapi, dalam hal ini terjadi perbedaan ada yang mengatakan boleh dan ada yang tidak.
Dan bagaimanakah jika seorang perempuan yang menjadi hakim (qodli)? Para ulama juga berbada pendapat tentang hal ini. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa seorang wanita itu boleh menjadi qodli. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan bahwa wanita itu boleh menjadi qodli, jika perkara yang dihadapi berhubungan dengan harta. At-Thabari bahkan lebih ekstrim lagi dengan mengatakan wanita boleh menjadi qodli dalam semua perkara yang diadukan kepadanya.

C. Pemberhentian (pemecatan) Qodli
Pemerintah (penguasa) mempunyai hak untuk memecat qodli yang ia angkat apabila ada sebab yang menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemecatan tanpa ada sebab, demikian menurut madzhab Syafi’i, karena hal itu dikaitkan dengan kemashlahatan kaum muslimin dan hak umat, maka tidak dibenarkan tindakan pemecatan terhadap qodli yang tidak bersalah, karena hal itu disamakan dengan wakalah (perwakilan) apabila ada kaitannya dengan hak orang lain. Dan menurut satu pendapat, dibolehkan tindakan pemecatan tanpa adanya kesalahan, karena ada suatu riwayat, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat Abdul Aswad sebagai qodli kemudian dipecatnya. Lalu Abdul Aswad bertanya: mengapa aku engkau pecat, padahal aku tidak berkhianat dan tidak melakukan tindakan kesalahan? Ali menjawab: sesungguhnya aku melihat kamu tinggi ucapanmu terhadap pihak-pihak yang berperkara. Dan karena penguasa berhak memecat pejabat-pejabat bawahannya termasuk juga para qodli.
Dan berlakulah pemecatan itu sejak ia (yang dipecat itu) mengetahui tentang pemecatan dirinya. Abu Yusuf berkata: berlakunya pemecatan itu sejak pengganti telah diangkat demi menjaga hak-hak manusia. Demikian juga, qodli boleh mengundurkan diri, dan berlakulah pengunduran diri itu sejak ia meninggalkan tugasnya. Menurut pendapat Jumhur bahwa qodli yang mengundurkan diri itu tidak terhenti kelangsungan tugasnya sampai diangkatnya pejabat baru, karena dalam hal ini tidak seorang pun dapat membatalkan suatu hak, dan menurut suatu pendapat dikatakan, bahwa qodli yang demikian itu belum terlepas selama hal pengunduran dirinya itu belum diketahui oleh pihak yang mengangkatnya, dan kalau diqiyaskan dengan pendapat Abu Yusuf, maka sebenarnya ia belum terlepas sampai ia menerima surat pemberhentian, dan inilah yang sesuai dengan apa yang berjalan di masa sekarang.
Dan atas dasar itu, maka selama surat pemecatan itu belum disampaikan, maka segala putusannya masih tetap sah demikian juga segala putusan itu tetap dapat dilaksanakan selama secara resmi pengunduran dirinya itu belum diterima.
Dan kalau seorang qodli meninggal dunia atau dipecat oleh orang yang tidak berhak memecatnya, maka tidak terpecat dan tidak diperlukan pengangkatan baru, sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan umum di bidang peradilan dari umat dan mengadili atas namanya.


BAB III
KESIMPULAN


Dari penjelasan makalah di atas, maka dapat diambil kesimpulan diantaranya:
1. Syarat-syarat menjadi seorang hakim adalah:
a. Laki-laki
b. Berakal (cerdas) dan mumayyiz
c. Islam
d. Adil
e. Berpengetahuan
f. Sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan
g. Faqih dan mujtahid
2. Qodli diangkat oleh penguasa, dan hukumnya adalah wajib.
3. Pemerintah (penguasa) mempunyai hak untuk memecat qodli yang ia angkat apabila ada sebab yang menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemecatan tanpa ada sebab.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Mawardi, Imam. 2006. Al-Ahkam As-Sulthaniyah (Hukum-Hukum Penyelenggaan Negara dalam Syari’at Islam). Jakarta: Darul Falah
Madkur, Muhammad Salam. 2003. Peradilan dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset
Muhammad, Muhammad Addul Jawwad. 1977. Buhus fi al-Syari’ati al-Islamiyah wa al-Qanun, Kairo: al-Mu’arif
Musyarrifah, Atiyah Mustafa. 1966. Al-Qada fil al-Islam, Timur Tengah: Darul Ghad

kejahatan terhadap tubuh

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fakta menunjukkan bahwa tipe kejahatan dalam masyarakat semakin bertambah. Jenis kejahatan semakin bertambah di samping semakin majunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Di antara jenis kejahatan adalah kejahatan terhadap tubuh dan kejahatan terhadap nyawa atau biasa dikenal dengan penganiayaan dan pembunuhan. Kedua jenis kejahatan ini sangat erat hubungannya satu sama lain karena pembunuhan hampir selalu didahului dengan penganiayaan. Pembahasan mengenai kejahatan terhadap tubuh tidak lepas dari rumusan-rumusan negara dalam melindungi hak-hak warga negaranya. Maka, tindak penganiayaan atau kejahatan terhadap tubuh ini secara otomatis termasuk di dalam lingkup tindak pidana yang unsur-unsur dan sanksi-sanksi bagi para pelakunya telah dimuat dalam KUHP buku II.
Kejahatan terhadap “orang” dalam KUHP mencakup kehormatan (penghinaan), membuka rahasia, kebebasan/kemerdekaan pribadi, nyawa, tubuh/badan, harta benda/kekayaan. Namun pada umumnya, para pakar menggabung hal-hal tersebut menjadi “tindak pidana terhadap jiwa dan tubuh”, yang dalam KUHP diatur dengan sistematis sebagai, kejahatan terhadap nyawa orang, penganiayaan, menyebabkan mati atau lukanya orang karena kesalahan/kelalaian.
Tindak pidana berupa penganiayaan atau bahkan menyebabkan kematian atau luka seseorang baik karena secara sengaja atau karena kesalahan dan kelalaian ini telah menyebabkan keresahan dalam masyarakat. Untuk itu, dalam mewujudkan ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat, dalam maksud menikmati kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum yang berintikan pada keadilan dan kebenaran, negara telah menciptakan aturan-aturan hukum dan sanksi-sanksi bagi para pelakunya sesuai dengan bentuk kejahatan yang telah diperbuatnya, sebagaimana telah diatur dalam KUHP.
Semoga makalah mengenai bentuk-bentuk kejahatan terhadap tubuh dan sanksi-sanksinya ini akan lebih menambah pemahaman kita.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kejahatan terhadap tubuh?
2. Apa saja bentuk-bentuk kejahatan terhadap tubuh dan unsur-unsurnya?
3. Apa sanksi hukum bagi para pelaku kejahatan terhadap tubuh?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai kejahatan terhadap tubuh.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kejahatan terhadap tubuh dan unsur-unsurnya?
3. Untuk mengetahui sanksi hukum bagi para pelakunya.


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Kejahatan Terhadap Tubuh
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dibentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen het lijf) ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian. Menurut Yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” (mishandeling) yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”.
“Perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali, sehingga basah.
“Rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul.
“Luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau.
“Merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya sehingga orang itu masuk angin.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penganiayaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibatnya semata-mata merupakan tujuan si petindak.

B. Bentuk Kejahatan Terhadap Tubuh dan Unsur-Unsurnya
Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh terdiri dari dua macam bentuk, yaitu:
a. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II pasal 351 s/d 358.
b. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.
1. Kejahatan Terhadap Tubuh dengan Sengaja
Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dapat dibedakan menjadi 6 macam yakni:
1) Penganiayaan Biasa (351 KUHP)
Penganiayaan biasa (gewone mishandeling) yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan pasal 351. Yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. Misalnya, A memukul B dengan sepotong kayu dua kali di kepalanya, sehingga mendapat luka-luka dan terpaksa dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Bukan penganiayaan berat karena luka yang diderita B bukan luka berat. Bukan penganiayaan ringan karena sebab lukanya B terpaksa terhalang dalam pekerjaannya sehari-hari. Keistimewaan kejahatan ini yakni dirumuskan dengan sangat singkat yaitu dengan menyebut kualifikasinya sebagai penganiayaan (mishandeling).
Menurut pasal 351, maka penganiayaan dapat dibedakan menjadi:
a. Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian (ayat 1).
b. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat (ayat 2).
c. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian (ayat 3).
d. Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4) .
Unsur-unsur penganiayaan biasa yakni:
a. Adanya kesengajaan (opzet als oogmerk).
b. Adanya perbuatan.
c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni:
- Rasa sakit pada tubuh, dan atau
- Luka pada tubuh
d. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya.
2) Penganiayaan Ringan
Penganiayaan tersebut dalam pasal 352 (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit (ziek) atau menjadikan terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. Misalnya, A menempeleng B tiga kali di kepalanya. B merasa sakit tapi tidak jatuh sakit dan masih dapat melakukan pekerjaannya sehari-hari.
Unsur-unsur penganiayaan ringan:
a. Bukan berupa penganiayaan berencana (353).
b. Bukan penganiayaan yang dilakukan:
1) Terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya.
2) Terhadap pegawai negeri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
3) Dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (356).
c. Tidak (1) menimbulkan penyakit atau (2) halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau (3) pencaharian.
3) Penganiayaan Berencana
Ada 3 macam penganiayaan berencana:
a. Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian.
b. Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat.
c. Penganiayaan berencana yang berakibat kematian.
Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu (mete voorbedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikuantifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:
a. Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang.
b. Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup, sehingga dapat digunakan olehnya untuk berfikir-fikir, yakni antara lain:
- Resiko apa yang akan ditanggung
- Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bilamanakah saat yang tepat untuk melaksanakannya
- Bagaimana cara menghilangkan jejak
c. Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dalam suasana hati yang tenang.
4) Penganiayaan Berat
Dibandingkan dengan penganiayaan biasa yang berakibat luka berat, maka penganiayaan berat yang mengakibatkan luka berat ini dilakukan dengan sengaja (memang dikehendaki) oleh orang yang menganiaya.
Unsur-unsur penganiayaan berat:
a. Kesalahannya: kesengajaan (opzettelijk).
b. Perbuatan: melukai berat (zwar lichamelijk letsel toebreng).
c. Obyeknya: tubuh orang lain.
d. Akibat: luka berat.
Penganiayaan berat ada 2 bentuk yakni:
a. Penganiayaan berat biasa (ayat 1).
b. Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2).
5) Penganiayaan Berat Berencana
Kejahatan ini merupakan gabungan antara penganiayaan berat (354 ayat 1) dan penganiayaan berencana (353 ayat 2). Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena itu harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesengajaannya ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Sebab, jika kesengajaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana.
6) Penganiayaan Terhadap Orang-Orang Berkualitas Tertentu atau dengan Cara Tertentu yang Memberatkan
Bagi bentuk khusus dari penganiayaan tersebut di atas sifat yang memberatkan pidana terletak pada dua hal:
a. Pada kualitas pribadi korban sebagai: ibu, bapak yang sah, istri, anak, dan pegawai negeri ketika atau menjalankan tugasnya yang sah.
b. Pada cara melakukan penganiayaan dengan memberikan bahan untuk dimakan atau diminum yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan.
Unsur-unsur dari penganiayaan jenis ini adalah:
1. Perbuatan: melawan.
2. Caranya: - dengan kekerasan.
- dengan ancaman kekerasan.
3. Obyeknya: - pejabat atau pegawai negeri.
- orang yang karena kewajiban UU membantu pejabat itu.
- orang yang karena permintaan pejabat itu membantu padanya.
4. Yang sedang menjalankan tugasnya yang sah.
Selain enam bentuk penganiayaan di atas, terdapat satu bentuk kejahatan lagi yang digolongkan dalam kejahatan terhadap tubuh dengan sengaja oleh Drs. Adam Chazawi, SH. yaitu turut serta dalam penyerangan perkelahian.
Jika dirinci dari rumusan pasal 358, unsur-unsur dari turut serta dalam penyerangan perkelahian ini terdiri dari dua unsur, yaitu:
1. Unsur-unsur obyektif:
a. Perbuatan: turut serta
b. 1. Dalam penyerangan
2. Dalam perkelahian
c. Di mana terlibat beberapa orang
d. Menimbulkan akibat: 1. Ada yang luka berat
2. Ada yang mati.
2. Unsur subyektif: dengan sengaja.

2. Kejahatan Terhadap Tubuh dengan Tidak Sengaja.
Perbuatan yang dimaksud di sini adalah perbuatan yang sama dalam penganiayaan, tidak dicantumkan secara konkret dalam rumusan-rumusan tindak pidana. Namun perbuatan ini harus benar-benar terwujud agar kejahatan ini benar-benar terjadi. Misalnya, mengemudi kurang hati-hati menabrak pejalan kaki, menembak babi hutan kurang hati-hati mengenai orang, dan lain-lain.
Kejahatan ini merupakan kejahatan culpa, yakni kejahatan karena kesalahan atau kealpaannya.
Unsur-unsur kejahatan ini adalah:
a. Ada perbuatan.
b. Karena kesalahan.
c. Menimbulkan akibat orang luka-luka berat, luka yang menimbulkan penyakit, atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu.

C. Sanksi Hukum Kejahatan Terhadap Tubuh
Sanksi bagi setiap bentuk kejahatan terhadap tubuh berbeda-beda, sebagaimana telah diatur dalam KUHP buku II pasal 351-358.
Penganiayaan biasa sebagaimana dalam pasal 351 KUHP, sanksi hukumnya adalah:
(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
(5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Sedangkan kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ringan (lichte mishandeling) oleh UU ialah penganiayaan yang dimuat dalam pasal 352 KUHP:
(1) Selain dari pada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500. Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila, kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah perintahnya.
(2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum (KUHP 37, 53, 70 bis, 184)
Pasal 353 KUHP mengenai penganiayaan berencana (voorbedachte raad) merumuskan sebagai berikut:
(1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun
Penganiayaan berat dirumuskan dalam pasal 354 KUHP:
(1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
Penganiayaan berat berencana dimuat dalam pasal 355 KUHP, yakni:
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya du belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Penganiayaan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu yang memberatkan dimuat dalam pasal 356, yang rumusannya adalah sebagai berikut:
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga:
(1) Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya, atau anaknya.
(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
(3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.
Kejahatan yang dimaksudkan dengan turut serta dalam penyerangan dan perkelahian dimuat dalam pasal 358, yaitu:
Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, dipidana:
(1) Dengan penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat.
(2) Dengan pidana penjara paling lama 4 tahun, jika akibatnya ada yang mati.
Kejahatan terhadap tubuh dengan tidak sengaja, dimuat dalam pasal 360 yang rumusannya adalah:
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.
(2) Barang siapa karena kurang hati-hatinya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda paling tinggi Rp. 4.500.
Sanksi atau ancaman pidana yang dimuat pada KUHP merupakan sanksi sejak tahun 1915. Dengan memperhatikan sanksi yang dimuat RUU-KUHP 1993, dapat diperkirakan adanya kekurangsesuaian, walaupun hal ini agak rumit karena RUU memuat sanksi paling tinggi (p.t.) dan paling rendah (p.r.).
Secara cermat perhatikan terhadap daftar berikut:
Penganiayaan Pasal Akibat Sanksi Sanksi RUU
1. P. Biasa 351 - Tidak luka berat dan tidak mati.
- Luka berat.

- Mati. 2 tahun 8 bulan

5 tahun

7 tahun - p.t. 5 tahun
p.r. 1 tahun
- p.t. 9 tahun
p.r. 1 tahun
- p.t. 12 tahun
p.r. 3 tahun
2. P. Ringan 352 - Tidak menjadikan sakit 3 bulan 1 tahun
3. P. Berencana 353 - Tidak luka berat atau mati
- Luka berat
- Mati 4 tahun

7 tahun
9 tahun -

-
-
4. P. Berat 354 - Luka berat
- Mati 8 tahun
10 tahun 9 tahun
12 tahun
5. P. Berat dan Berencana 355 - Luka berat
- Mati 12 tahun
15 tahun -
-
6. Turut Perkelahian 358 - Luka berat
- Mati 2 tahun 8 bulan
4 tahun 3 tahun
8 tahun
7. Kekerasan 170 - Tidak luka
- Luka
- Luka berat
- Mati 5 tahun 6 bulan
7 tahun
9 tahun
12 tahun 4 tahun
6 tahun
7 tahun
9 tahun

Khusus bagi tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati, tidak dapat dihindarkan untuk tidak mendakwahkan Pasal 338 KUHP bahkan pasal 340 KUHP karena permasalahan adalah pada unsur “dolus” atau “bentuk sengaja” terutama dengan bentuk “dolus eventualis”.


BAB III
KASUS DAN ANALISIS


A. Kasus
Salah satu kasus yang berhubungan dengan makalah yang penulis tulis adalah kasus penganiayaan yang dilakukan oleh ibunda Leony (salah seorang artis Indonesia), Sofia Attan terhadap adik iparnya sendiri, Liza. Kasus ini ditangani oleh Kapolsek Serpong, Tangerang. Dan belum jelas apa latar belakang yang menyebabkan Sofia melakukan penganiayaan terhadap Liza tersebut. Walaupun Sofia membantah telah menganiaya Liza, namun polisi mempunyai bukti-bukti kuat berupa hasil visum dan dua orang saksi yaitu satpam Villa Melati Mas. Bukti visum memperlihatkan, ada luka lebam di wajah, oleh karena itu Sofia dikenakan pasal pemukulan.
Polisi masih menyelidiki kasus tersebut dan masih melakukan pemeriksaan terhadap Sofia.
B. Analisis
Dari contoh kasus di atas kalau kita berpedoman kepada KUHP, maka Sofia dapat dikenakan pasal 351 tentang penganiayaan. Secara spesifik, pada ayat 2 dari pasal 351 itu dijelaskan bahwa “jika pebuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Kemudian dalam pasal 351 ayat 2 juga dijelaskan bahwa “kecuali yang tersebut dalam 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.”
Melihat penganiayaan yang dilakukan oleh Sofia, maka ia dapat dikenakan pasal 351 tentang penganiayaan biasa. Yaitu pada hakikatnya penganiayaan biasa ini bukanlah penganiayaan berat dan bukan pula penganiayaan ringan. Karena, Sofia memukul Liza, sehingga mendapat luka lebam di wajahnya dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Bukan penganiayaan berat karena luka yang diderita Liza bukan luka berat. Bukan penganiayaan ringan karena sebab lukanya Liza terpaksa terhalang dalam pekerjaannya sehari-hari.
Maka sebagai sanksi, Sofia Attan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda tiga ratus rupiah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 351 ayat 1. Dan bisa saja ia mendapatkan keringanan hukuman dari hakim, jika ia melakukan banding dan dikabulkan.


BAB IV
KESIMPULAN


Berdasarkan makalah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Bahwa penganiayaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibatnya semata-mata merupakan tujuan si petindak.
2. Bentuk-bentuk kejahatan terhadap tubuh adalah:
a. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II pasal 351 s/d 358.
b. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.
3. Macam-macam sanksi kejahatan terhadap tubuh (penganiayaan) dijelaskan dalam pasal 351, 352, 353, 354, 355, 358, dan 170 KUHP.


DAFTAR PUSTAKA


Chazawi, Adami. 2002. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta
Kartono, Kartini. 2005. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta
Marpaung, Leden. 2000. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya). Sinar Grafika: Jakarta
Moeljanto. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara: Jakarta
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Reflika Aditama: Bandung
Soesilo, R.1995. KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor
Soesilo, R. 1984. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan delik-Delik Khusus. PT. Karya Nusantara: Bandung
www.okezone.com

Selasa, 24 Februari 2009

mahkamah agung dan mahkamah konstitusi di indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kasus-kasus pidana dan perdata di Indonesia, sudah banyak sekali badan peradilan yang mengadilinya. Dari sekian banyaknya kasus yang dihadapi, banyak pula kasus yang telah diselesaikan dengan baik. Hal ini tidak terlepas dari peran badan peradilan yang menanganinya. Mulai dari peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan peradilan agama serta badan peradilan yang lebih tinggi yang menaunginya yaitu mahkamah agung.

Di samping itu kita juga tidak bisa melupakan pula peran mahkamah konstitusi di Indonesia. Mahkamah konstitusi ini sendiri berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat, mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab, penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.

Jadi, semua badan peradilan di Indonesia paling tidak mempunyai fungsi yang sama dengan mahkamah konstitusi. Adapun mahkamah agung dan mahkamah konstitusi ini bersifat independen. Maka, untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkan lebih lanjut tentang mahkamah agung dan mahkamah konstitusi ini. Semoga bermanfaat. Amin.

1.2 Rumusan Masalah

Agar pembahasan dalam makalah dapat dimengerti dan dipahami dengan baik, maka penulis membuat beberapa rumusan masalah, diantaranya:

1. Apakah pengertian mahkamah agung dan mahkamah konstitusi?

2. Apakah susunan keanggotaan dari mahkamah agung dan konstitusi?

3. Apakah tugas dan wewenang dari mahkamah agung dan mahkamah konstitusi?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Mahkamah Agung

Di dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa, mahkamah agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya seperti peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka/independen disamping mahkamah konstitusi. Artinya mahkamah agung bukanlah lagi sebagai satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman, akan tetapi mahkamah agung hanya salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.[1]

Mahkamah agung merupakan badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya.

a. Susunan keanggotaan mahkamah agung

Susunan dan badan-badan kehakiman sekarang diatur dalam UU no. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang pada awalnya diatur dalam UU no. 14 tahun 1985. Dan khusus untuk mahkamah agung (MA) diatur dalam UU no. 5 tahun 2004 tentang mahkamah agung. Pada pasal 4 UU no. 5 tahun 2004 dijelaskan tentang susunan MA yang terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Sedangkan jumlah hakim agung paling banyak adalah 60 orang.

1. Hakim agung: pimpinan dan hakim anggota

Pimpinan MA terdiri dari seorang ketua, 2 orang wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil ketua MA meliputi:

o Wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda militer, dan ketua muda tata usaha negara.

o Wakil ketua muda non-yudisial yang membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.

Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung dan diangkat oleh presiden. Sedangkan ketua muda MA diangkat oleh presiden diantara hakim agung yang diajukan oleh ketua MA.

Para hakim agung diangkat oleh presiden dari nama calon yang diajukan oleh DPR. Calon hakim agung dipilih oleh DPR dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Adapun syarat-syarat untuk menjadi seorang hakim agung adalah sebagai berikut:

o WNI.

o Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

o Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum.

o Berusia sekurang-kurangnya 50 tahun.

o Sehat jasmani dan rohani.

o Berpengalaman sekurang-sekurangnya 20 tahun menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 tahun menjadi hakim tinggi.

2. Panitera

Pada MA diterapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang panitera yang dibantu oleh beberapa orang panitera muda dan beberapa orang panitera pengganti. Panitera ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul ketua MA. Syarat untuk menjadi panitera adalah sebagai berikut:

o WNI.

o Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

o Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum.

o Berpengalaman sekurang-kurangnya 2 tahun sebagai panitera muda pada MA dan sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai panitera pada pengadilan tingkat banding.[2]

3. Sekretariat

Sekretariat MA dipimpin oleh seorang sekretaris MA. Sekretaris MA diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul ketua MA.

b. Tugas dan wewenang mahkamah agung

Adapun tugas dan wewenang yang dimiliki oleh mahkamah agung adalah:

1. Memeriksa dan memutus pemohonan kasasi, sengketa tentang kewewenangan mengadili, dan permohonan peninjauan kembali (PK) putusan pengadilan yang telah memperoleh keputusan tetap.[3]

2. Memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.[4]

3. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.[5]

4. Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.[6]

5. Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.[7]

6. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.[8]

7. Menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.[9]

c. Badan peradilan di lingkungan mahkamah agung

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berada dibawahnya yang meliputi: badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.[10]

1. Peradilan Umum

Peradilan umum adalah peradilan rakyat bagi umumnya, baik mengenai perkara perdata maupun perkara pidana. Peradilan umum ini adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Dalam peradilan umum itu dapat diadakan pengkhususan lagi yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud “diadakan pengkhususan” ialah adanya diferensiasi di lingkungan peradilan umum,[11] misalnya pengadilan lalu lintas, pengadilan anak-anak, pengadilan ekonomi, dan sebagainya dengan undang-undang.[12]

Kekuasaan peradilan umum meliputi:

o Pengadilan Negeri.

Pengadilan negeri yaitu peradilan umum sehari-hari yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara dalam tingkat pertama segala perkara perdata dan pidana sipil untuk semua golongan penduduk baik warga negara maupun warga asing. Pengadilan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.

o Peradilan Tinggi.

Peradilan tinggi yaitu pengadilan banding yang akan mengadili kembali perkara perdata dan pidana yang telah diadili oleh pengadilan negeri. Akan tetapi naik banding oleh terdakwa atau jaksa yang merasa kurang puas atas keputusan pengadilan negeri yang mengadili perkara itu. Peradilan tinggi berkedudukan di ibukota propinsi.

2. Peradilan Agama

Peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu.[13] Perkara-perkara tersebut antara lain:

o Perkawinan.[14]

o Kewarisan, wasiat, dan hibah.[15]

o Wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah.

o Ekonomi syari’ah.

o Perceraian.

Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdiri dari pengadilan agama yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama, dan pengadilan tinggi agama yang memeriksa dan memutuskan perkara ditingkat banding. Pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten. Sedangkan pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibukota propinsi.

3. Peradilan Tata Usaha Negara

Pengadilan tata usaha negara memiliki tugas dan kewenangan:

o Memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara ditingkat banding.

o Memeriksa dan memutus ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan tata usaha negara di dalam daerah hukumnya.

4. Peradilan Militer

Pengadilan militer memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:

o Menerima, memeriksa, dan mengadili, serta menyelesaikan perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit TNI/POLRI, atau yang dipersamakan menurut undang-undang.

o Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha TNI/POLRI.

2.2 Mahkamah Konstitusi

Mahkamah konstitusi yaitu sebuah lembaga negara yang ada setelah adanya amandemen UUD 1945. Dalam konteks ketatanegaraan, MK dikonstuksikan sebagai: [16]

1. Pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat.

2. Mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab.

3. Penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.

Pendirian dan peran MK diatur dalam Pasal-pasal 24 (2), 24C, dan 7B UUD 1945 hasil amandemen ketiga. Yurisdiksi MK antara lain menguji sebuah UU terhadap konstitusi, mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara, memberi pendapat dalam pemakzulan presiden, memutus pembubaran partai politik serta memutus sengketa pemilihan umum.[17]

a. Susunan keanggotaan mahkamah konstitusi

Di dalam mahkamah konstitusi terdapat tiga pranata yaitu hakim konstitusi, kepaniteraan, dan sekretriat jenderal.

1. Hakim konstitusi

MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Pengajuan calon masing-masing tiga orang oleh MA, DPR, dan Presiden.

Mahkamah konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan tujuh anggota hakim mahkamah konstitusi. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi, untuk masa jabatan 3 tahun.

Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki untuk menjadi hakim konstitusi adalah:

o WNI.

o Berpendidikan S1 bidang hukum.

o Berusia sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan.

o Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum karena melakukan tindak pidana yang diancam penjara lima tahun atau lebih.

o Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan.

o Mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 tahun.

2. Panitera

3. Sekretaris jenderal

b. Tugas dan wewenang mahkamah konstitusi

Dalam hal wewenang, mahkamah konstitusi mempunyai kewenangan yang diatur dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU no. 24 tahun 2003 yaitu:

1. Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD.

Lazimnya, pengujian terbatas pada ketentuan dalam suatu UU yang melanggar/tidak sesuai dengan konstitusi. Namun, mulai dipertanyakan kemungkinan pemberlakuan kewenangan ini terhadap hal-hal yang menurut konstitusi seharusnya diatur dalam suatu UU namun ternyata tidak diatur.

Awalnya, UU MK membatasi kewenangan pengujian MK hanya terhadap UU yang diundangkan setelah amandemen UUD 1945. Namun, MK menilai batasan ini inkonstitusional dan menyatakannya tidak mengikat. Karenanya, kewenangan pengujian UU MK tak berbatas waktu, misalnya pengujian terhadap KUHP.[18]

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, usul pemberhentian presiden dan/atau wapres oleh DPR kepada MPR apabila presiden/wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam pasal 7A UUD 1945.

Secara khusus dalam kewenangan ini, UUD tidak menyatakan mahkamah konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final dan mengikat. Mahkamah konstitusi hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus, bahkan wajib dilalui dalam proses pemberhentian presiden/wapres.

3. Memutus pembubaran partai politik.

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya:

1. Mahkamah agung merupakan badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya.

2. Susunan keanggotaan mahkamah agung terdiri dari: hakim agung, panitera, dan sekretaris.

3. Adapun tugas dan wewenang mahkamah agung diatur dalam UU no. 4 tahun 2004 tentang mahkamah agung dan UU no. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung

4. Badan peradilan yang berada di lingkungan mahkamah agung yaitu: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

5. Dalam konteks ketatanegaraan, MK dikonstuksikan sebagai: Pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat, mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab, penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.

6. Susunan keanggotaan mahkamah konstitusi terdiri dari: hakim konstitusi, panitera, dan sekretriat jenderal

7. Adapun tugas dan wewenang mahkamah konstitusi diatur dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU no. 24 tahun 2003.

DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C.S.T. 1987. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bina Aksara

Rasyid, Roihan A. 1990. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Bina Aksara

Saleh, K. Wantjik. 1977. Kehakiman Dan Peradilan. Jakarta: Ghalia Indonesia

Syarifin, Pipin. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia

Tutik, Titik Tiwulan. 2008. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945. Jakarta: Cerdas Pustaka

UU no. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama

UU no. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman

UU no. 4 tahun 2004 tentang mahkamah agung

UU no. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung

Www.hukumpedia.com



[1] Titik Tiwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, hal. 247

[2] Pasal 20 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004 tentang mahkamah agung

[3] Pasal 28 ayat (1) UU no. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung

[4] Pasal 29 ayat (2) UU no. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung

[5] Pasal 32 ayat (1) UU no. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung

[6] Pasal 32 ayat (2) UU no. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung

[7] Pasal 32 ayat (3) UU no. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung

[8] Pasal 31 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004 tentang mahkamah agung

[9] Pasal 31 ayat (2) UU no. 4 tahun 2004 tentang mahkamah agung

[10] Pasal 10 UU no. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman

[11] C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, hal. 252

[12] Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, hal. 187

[13] Pasal 2 UU no. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama

[14] K. Wantjik Saleh, Kehakiman Dan Peradilan, hal. 72

[15] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, hal. 34

[16] Titik Tiwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum ………….., hal. 260

[17] www.hukumpedia.com

[18] Ibid